Tiffany, you got a text message! Suara hapeku terdengar keras sekali dari dalam tasku.
“Heh Tiffy, nggak kamu silent ya hapemu?” Doni yang duduk tepat di sebelahku mengomel. “Kita kan ada kelas, harusnya kamu dari tadi udah matiin tuh hapemu.”
Aku mendesis. “Aku kan lupa,” kataku ketus. “Nggak usah marah-marah kali. Lagian dosen kan lagi keluar.”
“Ya, tapi kan itu ngelanggar atur─”
“Stop,” aku memotong perkataannya. Dia nih cowok tapi kayak cewek ya? Ngomel mulu kerjaannya? “Maaf udah buat kamu keganggu. Ini hapeku udah aku silent.” Tanpa memandang ekspresinya atau menunggu respon darinya, aku membaca pesan yang aku dapat.
Kamu ada waktu nggak sore ini? Aku mau ajak kamu keluar.
Jam 5 kayak biasa aku jemput kamu di rumahmu.
Philip.
“Mau apa ya dia ngajak aku keluar?” aku memicingkan mataku.
Oke. Nggak papa. Aku tunggu jam 5 nanti.
“Tiffy,” Pak Burhan, dosen General Lingustic –ku memanggil. Aku segera memasukkan hapeku ke dalam tas.
“Iya Pak?”
“Kamu tahu salah satu contoh Broad and Narrow Meaning?” tanyanya.
“Oh, setahu saya yang Broad itu contohnya Sister and Brother, dulu dipake cuman buat sodara kandung, tapi sekarang dipake untuk bahasa untuk ngakrabin diri, misalnya sama customer. Kalo yang Narrow,” aku mengetuk-ketukan pulpen ke pipi kananku. “sarjana. Dulu sarjana tuh buat orang pinter, kalo sekarang cuman untuk mahasiswa yang udah diwisuda.”
Bonita, Doni, dan Sierra, yah katakanlah hampir seluruh mahasiswa di kelas ini menoleh ke arahku. Mereka tidak pernah melihatku bisa menjawab satupun pertanyaan dari Pak Burhan. Karena biasanya aku hanya akan menjawab, ‘Saya belum belajar sampai kesitu’. Phillip, thanks. God, You’re the Best, aku bersyukur dalam hati. Rasanya puas sekali melihat ekspresi mereka, karena biasanya mereka selalu meremehkanku. Haha.
Langit masih biru walaupun sekarang waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Sambil mendandani wajahku, mataku memandang burung-burung yang melintas di langit melalui kaca jendela kamarku.
“Kira-kira aku diajak kemana ya sama Phillip? Kenapa dia nggak bilang?” aku menyelesaikan dandananku. Aku melihat ke kaca dan tampilanku udah baguslah. Cukup. Aku lebih suka dandanan yang soft. Karena aku merasa itu lebih cocok untukku. Atau mungkin lebih tepatnya, sebenarnya aku kurang suka berdandan. Mungkin kalau mama tidak memaksaku dengan peringatannya tentang dandanan juga salah satu hal yang menunjukkan kedewasaan, aku pasti tidak akan pernah menyentuh alat-alat make up yang mama letakkan di kamarku.
Aku menyangking tas slempangku dan keluar dari kamar. Aku melihat papa dan mama sedang duduk di ruang keluarga yang terbuka. Papa sedang menonton TV dan mama duduk di sebelahnya sepertinya sedang membuat pola lagi. Ya, mama membuat pola lagi untuk baju yang ia design sendiri, dan sebentar lagi akan ia jahit menjadi baju yang bagus baginya. Tentu saja. Mama membuat baju-baju itu untuk dipakai sendiri. Ia selalu suka hal ini dan tidak pernah bosan.
“Nonton apa sih Pa?” tanyaku sambil duduk di siku sofa yang lebih tinggi dari tempat duduknya. Aku hanya sekadar berbasa-basi walau aku tahu apa yang sebenarnya papa tonton. Itu berita. Tontonan yang sebenarnya agak kuhindari. Ya. Karena selalu saja ada berita tentang pembunuhan dan hal-hal kejam lainnya. Karena itu aku kurang menyukainya.
“Ini lho, tentang pemerintah,” jawaban papa terdengar malas, karena kata-katanya begitu tanggung untuk bisa ditangkap intinya. Baiklah, tidak masalah. Aku juga kurang tertarik.
Aku menoleh ke arah mama. “Ma, baju apa lagi?” tanyaku. “Kok banyak banget kainnya? Dikasi sama Bu Herman lagi ya?”
Mama mengangguk. “Kainnya bagus, makanya mama langsung buat,” jawabnya sambil meneruskan pola yang ia buat. “Yang ini cuman jadi daster sih, tapi yang warna merah di deketmu itu jadi baju formal.”
“Oh,” aku mengangguk-angguk. Hapeku bergetar. Semenjak kelas terakhir di kampus tadi, hapeku belum sempat ku ganti profil. Jadinya nggak bunyi deh. Dan ini Phillip. Dia udah ada di depan rumah. “Pa, Ma, aku pergi dulu ya.”
“Kemana? Sama siapa?” tanya Papa.
Aku bingung menjawabnya. Phillip tidak memberitahuku akan kemana nanti. “Phillip, Pa. Dia minta tolong aku bantuin dia,” akhirnya aku menemukan alasan yang tepat.
“Ya udah, ati-ati ya,” kata Papa.
Aku mencium tangan Papa dan Mamaku lalu berjalan keluar rumah. Phillip sudah berdiri di depan pintu rumahku.
“Papa sama Mamamu ada di rumah ya?” tanya Phillip.
Aku mengangguk. “Kenapa?” tanyaku.
“Aku mau pamitan dulu,” jawabnya.
Aku menaikkan alisku.
“Kan harus sopan tau,” ujarnya. “Masa anaknya dipinjem nggak bilang orang tuanya?”
Aku tertawa. “Yuk,” aku mengajaknya ke ruang keluarga. Dan dia mengikutiku dari belakang. “Pa, Ma, ada Phillip.”
Papa dan Mama menoleh. Mereka menghentikan aktivitas mereka sejenak, lalu berjalan mendekati aku dan Phillip.
“Om, tante, saya pinjem anaknya dulu ya,” kata Phillip. “Sebenernya cuman mau minta bantuannya.”
Mama tersenyum. “Iya, nggak papa kok,” katanya.
“Yang penting kamu jagain anak om lah,” timpal Papa. “Lagipula selama ini kamu yang ngajarin dia. Walaupun sampe malem, kamu tetep pulangin dia kesini. Anter jemput lagi. Ya, om udah percaya lah sama kamu.”
Phillip tersenyum. “Ah om ini,” katanya. “Biasa aja kok, Om.”
Papa tertawa. Dia menepuk-nepuk pundak Phillip. “Ya udah sana pergi,” katanya. “Ati-ati di jalan lho ya.”
“Iya om,” Phillip membungkuk. “Mari Om, Tante.”
Aku dan Phillip keluar dari rumah dan masuk ke dalam mobil Phillip.
“Kok salon, Phil?” tanyaku saat Phillip memarkirkan mobilnya di parkiran depan salon ternama di kota Semarang. Lalu kami keluar dari mobil. Sambil berjalan masuk aku terus bertanya padanya. “Kita mau apa sih emangnya?”
“Tiffy, aku tuh sebenernya minta tolong kamu untuk temenin aku ke pesta pernikahannya temen SMA-ku,” ia membukakan pintu salon itu dan membiarkan aku masuk duluan.
Aku mengangguk-angguk. “Oh gitu?” aku melihat ke sekelilingku. Di dinding dalam salon itu banyak sekali foto-foto artis dalam dan luar negeri yang ternama tergantung disana. “Pantesan kamu pake pakaian resmi begini. Baju rapi, celana kain, sepatu resmi, mesti di dalem mobilmu juga ada tuxedo ya? Ya, sebenernya pas tadi kita ngobrol-ngobrol di sepanjang jalan tuh aku mau tanya, tapi nggak jadi.”
Phillip tertawa kecil. “Kamu tuh ternyata emang rada cerewet ya,” katanya. Lalu dia berpaling ke seorang petugas yang berada tepat di dekat pintu masuk. “Mbak, tolong buat temenku ini cantik ya. Lebih bagus lagi, buat dia tampil elegan.”
“Beres lah, Mas Bule,” kata petugas itu.
Spontan aku menertawakannya. “Mas Bule?” aku tertawa lagi.
Phillip tidak tertawa. Dia hanya tersenyum simpul mendengar panggilan aneh itu. “Udah sana ikut mbaknya, biar cepet selesai. Acaranya mulai jam tujuh.”
Seorang wanita yang lebih pendek dariku datang menghampiriku. Aku berjalan mengikutinya. “Masih jam setengah enam. Masih tiga jam lagi,” aku menoleh sebentar dan menyeringai padanya, lalu aku berpaling kembali dan duduk di kursi yang ditunjukkan wanita itu padaku.
Kuhitung sudah sekita tujuh puluh lima menit aku menutup mataku selama mereka mendandani wajah dan rambutku. Dan saat aku membuka mataku, penampilanku sudah terlihat sangat berbeda. Aku terlihat seperti, lebih dewasa. Tapi aku bersyukur salon ini bukan salon yang mendandani pelanggannya dengan dandanan yang mengerikan, oh maksudku yang tebal. Mereka mendadani dengan sangat profesional dan aku menyukainya. Mungkin itu sebabnya salon ini menjadi salon ternama. Iya ya? Bener juga.
“Mbak, ini gaun pestanya,” wanita yang tadi mendandaniku datang kembali dengan membawakan sebuah kotak berwarna putih.
Aku mengambil kotak itu. “Ruang gantinya?” tanyaku.
“Di pojok sana,” ia menunjuk.
“Makasi ya mbak,” aku tersenyum padanya lalu masuk ke dalam kamar ganti itu.
Kubuka kotak putih itu dan aku mengambil gaun yang dilipat rapi di dalamnya. Gaun ini simpel sekali. Warnanya biru langit, dan ada pita putih yang lumayan besar yang menghiasi bagian belakangnya, dan ukurannya tepat di atas lutut. Modelnya seperti baju Tinkerbell, tokoh kartun itu. Gaun ini manis sekali. Aku suka.
Aku pun memakainya. Dan sebelum aku keluar dari dalam kamar ganti itu, sepasang sepatu high heels berwarna putih silver diselipkan melalui celah yang tidak terlalu besar di bawah pintu.
“Kenapa nggak ketuk pintu supaya aku bukain, eh malah masukin lewat bawah pintu,” aku menggumam. Dan aku melepaskan sepatu sandalku dan menggantinya dengan sepatu highheels itu.
Aku berkaca sekali lagi sebelum keluar dari kamar ganti. Aku kelihatan imut ya? Aku memuji diri sendiri. Haha. Aku suka sekali melakukan itu di depan kaca. Selalu begitu. Yah, walaupun aku tidak terlalu suka berdandan, aku suka bertingkah narsis di depan kaca.
Phillip rupanya duduk di depan kamar ganti saat aku keluar dari dalam kamar ganti. Kurasa, tadi dia yang menyelipkan sepatu itu.
“Kamu yang nyelipin sepatu ini ya?” tanyaku sambil menunjukkan sepatu yang aku pakai.
Dia menyeringai. “Iya, maaf ya,” katanya seperti merasa bersalah.
“Nggak papa kok,” sahutku.
Ia melirik jam tangannya lalu kembali memandangku. “Jam setengah tujuh lebih lima,” katanya.
“Berangkat sekarang?”
Phillip berdiri. “Iya, sekarang. Yuk,” ajaknya.
“Eh, bentar, tasku masih di kursi tadi,” aku teringat.
“Udah aku masukin ke mobil,” sahutnya. “Tinggal bajumu yang di kotak itu sama sepatu yang di tanganmu itu aja kamu masukin ke mobil.”
“Oh,” aku tersenyum. “Makasi.”
Lalu aku berjalan di sampingnya keluar dari salon itu. Phillip membukakan pintu tengah dan mengambil barang-barangku lalu meletakannya di jok tengah. Dia menutup pintu tengah dan membukakan pintu depan bagiku.
“Silakan masuk, tuan putri,” katanya.
Aku tertawa kecil. “Lucu,” kataku lalu masuk ke dalam mobil.
Dia pun masuk ke dalam mobil dan menancap gas menuju ke tempat pesta resepsi teman SMA-nya.
No comments:
Post a Comment