ASK ME.
If you want the copy of my stories, just ask me through my Facebook. God bless you.
Friday, July 18, 2014
Perahu, Bawa Aku Ke Rumahku
Sukiman hanyalah seorang tukang becak yang hidup sebatang kara. Orang tuanya telah lama berpulang saat ia masih berumur lima tahun. Satu-satunya sahabatnya yang dulu selalu bersamanya dan mendukungnya tiba-tiba saja menghilang saat kerusuhan ’98 terjadi. Ia pun tidak pernah memiliki tambatan hati, sehingga di usianya yang ke-empat puluh tahun, ia masih sendiri. Baginya, apalah arti mencinta jika mendapatkan sesuap nasi saja ia sampai harus meremukkan tulangnya.
Sambil menangis lagi ia berkata, “Kenapa hidup ini tidak adil? Aku mendambakan sebuah tempat yang dapat memberikanku kenyamanan, tapi aku tidak pernah mendapatkannya. Orang bijak pernah berkata bahwa selalu ada harapan, tapi mana? Mana? Seberapapun besarnya kekuatan yang kukerahkan, aku tidak pernah mendapatkannya.
***
“Tolong aku,” seorang anak perempuan berumur enam tahun berlari dengan pakaian compang-camping sambil meraung-raung. Tubuhnya yang penuh luka terbaring tak berdaya di atas tanah berlumpur. “Tolong aku. Tolong.” Dia menangis tersedu-sedu sambil menahan rasa sakit yang tiada henti menerpa.
Ia bukan seorang anak yang nakal, tapi ia selalu mendapat hukuman. Setiap kali ia pulang dari sekolah, bukan pelukan hangat dan senyuman manis yang menyambutnya, tetapi cambukanlah yang setia menemani gadis kecil bernama Rina, seorang anak kelas satu SD.
***
“Iya Pa, pasti aku akan menjaga diri,” seorang gadis berkata kepada ayahnya. Kemudian ia berpaling kepada ibunya, “Dan Mama, jangan menangis lagi. Aku hanya pergi sebentar saja. Piknik sekolah tidak akan memakan waktu setahun. Kalau begitu, Ma, Pa, sekarang aku pergi. Teman-teman dan guruku sudah menunggu.” Ia berpamitan kepada kedua orang tuanya dengan mencium tangan mereka lalu pergi bergabung dengan teman-temannya.
Pemandangan ini melukai hati seorang gadis lainnya yang sedang berdiri di bawah pohon. Dia, Mia, memalingkan wajahnya dari pemandangan itu. Tak sanggup lagi menahan, air matanya jatuh membasahi pipinya saat ia mengingat perpisahan yang terjadi pada orang tuanya bahkan di saat sebelum ia paham akan arti kata keluarga.
Baca lagi di:
Anti-Mainstream Bukan Anti-Sosial
“Ah, ganteng banget sih Siwon!” seorang gadis berteriak sambil memandangi sesuatu di layar smartphone-nya sehingga membuat teman-temannya berkumpul mengelilinginya. Dengan antusias dan semangat yang membara mereka bercerita satu sama lain tentang idola mereka yang berasal dari negeri gingseng itu.
Dari kejauhan Karen melihat fenomena yang tidak menyenangkan itu dengan hati kesal. Ia merasa bahwa orang-orang yang menyukai Korea dan segala tetek bengek di dalamnya itu hanyalah membuang-buang waktu belaka. Apa yang mereka lakukan dengan bergosip dan memuji-muji idola mereka tanpa membuat aksi untuk memperdengarkan suara mereka kepada sang idola adalah hal yang konyol menurut anggapannya. Toh, idola mereka tidak akan tahu bahwa ia memiliki para fans yang menggilainya sedemikian besar.
Tidak ingin merasa lebih kesal lagi, Karen pergi meninggalkan gerombolan mahasiswa perempuan yang telah membuat polusi udara dengan gossip dan cerita mereka mengenai Siwon dan kawan-kawan. Ia melangkah pergi mencari suatu ruangan kelas yang kosong untuk mendapatkan privasi. Alunan musik yang memenuhi telinganya melalui sebuah earphone putih mini-nya itu setidaknya memberinya sedikit ketenangan saat ia berjalan kesana kemari sampai menemukan sebuah ruangan kelas yang kosong.
Karen meletakkan tas besarnya yang berisi penuh dengan barang-barang yang tidak pernah ia keluarkan itu di atas sebuah kursi dan ia duduk di kursi sebelahnya. Ia membuaka IPad-nya dan masuk ke aplikasi Evernote dimana ia selalu menyimpan segala catatan di dalamnya. Seperti biasa, ia pun membuka sebuah folder yang diberi label ‘Mainstream’ ketika ia menemukan hal-hal baru yang ia anggap sebagai ‘budaya mainstream’, dan menuliskan ‘Korean Waves’ yang menempati posisi kedua puluh lima, sebagai salah satu budaya mainstream.
“Hah, ternyata banyak juga budaya mainstream yang udah aku dapet,” ia bergumam dengan tersenyum sinis. “Dasar, kalian nggak punya jati diri.” Kemudian ia menutup IPad-nya dan memasukkannya kembali ke dalam tas.
Suara-suara berisik tiba-tiba datang, memasuki ruang yang Karen singgahi. Beberapa orang mahasiswa dengan pakaian yang berantakan dan gaya selengekan melenggang masuk dan memenuhi ruangan seolah tidak menyadari keberadaan Karen. Tentu saja hal ini membuat Karen yang sentimental itu merasa gusar. Ia membereskan buku yang barus saja ia keluarkan dari dalam tas dan memasukkannya kembali. Ia beranjak dari kursi dan mendesah keras dengan sengaja agar didengar oleh para mahasiswa itu.
“Eh, ada si cewek anti-mainstream,” celetuk salah seorang mahasiswa.
Ya, ‘cewek anti-mainstream’ sudah melekat pada diri Karen, semenjak ia menyampaikan presentasi anti-mainstream setahun lalu saat ia masih ada di semester tiga. Ia dengan keras menentang segala aksi yang ia anggap mainstream agar tidak dilakukan lagi. Namun rupanya, cara penyampaiannya itu terlalu keras dan kasar bagi teman-temannya sehingga dengan mentah-mentah presentasinya itu ditolak dan bahkan dihina. Walaupun begitu, Karen tidak merasa kecil hati, tapi justru semakin mengeraskan hatinya untuk berpegang teguh pada pendiriannya.
Subscribe to:
Comments (Atom)



