“Ah, ganteng banget sih Siwon!” seorang gadis berteriak sambil memandangi sesuatu di layar smartphone-nya sehingga membuat teman-temannya berkumpul mengelilinginya. Dengan antusias dan semangat yang membara mereka bercerita satu sama lain tentang idola mereka yang berasal dari negeri gingseng itu.
Dari kejauhan Karen melihat fenomena yang tidak menyenangkan itu dengan hati kesal. Ia merasa bahwa orang-orang yang menyukai Korea dan segala tetek bengek di dalamnya itu hanyalah membuang-buang waktu belaka. Apa yang mereka lakukan dengan bergosip dan memuji-muji idola mereka tanpa membuat aksi untuk memperdengarkan suara mereka kepada sang idola adalah hal yang konyol menurut anggapannya. Toh, idola mereka tidak akan tahu bahwa ia memiliki para fans yang menggilainya sedemikian besar.
Tidak ingin merasa lebih kesal lagi, Karen pergi meninggalkan gerombolan mahasiswa perempuan yang telah membuat polusi udara dengan gossip dan cerita mereka mengenai Siwon dan kawan-kawan. Ia melangkah pergi mencari suatu ruangan kelas yang kosong untuk mendapatkan privasi. Alunan musik yang memenuhi telinganya melalui sebuah earphone putih mini-nya itu setidaknya memberinya sedikit ketenangan saat ia berjalan kesana kemari sampai menemukan sebuah ruangan kelas yang kosong.
Karen meletakkan tas besarnya yang berisi penuh dengan barang-barang yang tidak pernah ia keluarkan itu di atas sebuah kursi dan ia duduk di kursi sebelahnya. Ia membuaka IPad-nya dan masuk ke aplikasi Evernote dimana ia selalu menyimpan segala catatan di dalamnya. Seperti biasa, ia pun membuka sebuah folder yang diberi label ‘Mainstream’ ketika ia menemukan hal-hal baru yang ia anggap sebagai ‘budaya mainstream’, dan menuliskan ‘Korean Waves’ yang menempati posisi kedua puluh lima, sebagai salah satu budaya mainstream.
“Hah, ternyata banyak juga budaya mainstream yang udah aku dapet,” ia bergumam dengan tersenyum sinis. “Dasar, kalian nggak punya jati diri.” Kemudian ia menutup IPad-nya dan memasukkannya kembali ke dalam tas.
Suara-suara berisik tiba-tiba datang, memasuki ruang yang Karen singgahi. Beberapa orang mahasiswa dengan pakaian yang berantakan dan gaya selengekan melenggang masuk dan memenuhi ruangan seolah tidak menyadari keberadaan Karen. Tentu saja hal ini membuat Karen yang sentimental itu merasa gusar. Ia membereskan buku yang barus saja ia keluarkan dari dalam tas dan memasukkannya kembali. Ia beranjak dari kursi dan mendesah keras dengan sengaja agar didengar oleh para mahasiswa itu.
“Eh, ada si cewek anti-mainstream,” celetuk salah seorang mahasiswa.
Ya, ‘cewek anti-mainstream’ sudah melekat pada diri Karen, semenjak ia menyampaikan presentasi anti-mainstream setahun lalu saat ia masih ada di semester tiga. Ia dengan keras menentang segala aksi yang ia anggap mainstream agar tidak dilakukan lagi. Namun rupanya, cara penyampaiannya itu terlalu keras dan kasar bagi teman-temannya sehingga dengan mentah-mentah presentasinya itu ditolak dan bahkan dihina. Walaupun begitu, Karen tidak merasa kecil hati, tapi justru semakin mengeraskan hatinya untuk berpegang teguh pada pendiriannya.
No comments:
Post a Comment