ASK ME.

If you want the copy of my stories, just ask me through my Facebook. God bless you.

Thursday, July 4, 2013

Every Twin Has A Special Soulmate! (Chapter 1)

Kalau dikatakan suka, aku akan berkata suka. Kalau dikatakan tidak suka, aku juga tidak suka. Karena menjadi anak kembar itu ada untung dan ruginya. Bisa bertukar posisi saat aku tidak bisa mengerjakan suatu hal, itulah keuntungannya. Tapi kalau orang tidak memberikan suatu hal yang aku suka kepadaku tapi kembaranku, rasanya aku kesal sekali.

Aku Carry, saudara kembarku Corry. Secara kasat mata, kami sangat sama. Ya, kami kembar identik. Bahkan sebenarnya suara, warna rambut, cara berjalan dan banyak hal lainnya kami sama. Itulah yang sampai saat ini membuat semua orang tidak bisa membedakan kami. Orang tua kami pun terkadang salah memanggil nama kami.

Apa yang harus kulakukan? Memotong rambut kami dengan gaya yang berbeda? Rasanya hal itu tidak menyenangkan. Aku dan Corry memiliki selera yang sama mengenai potongan rambut. Masing-masing kami tidak rela mengubah gaya rambut yang tidak kami sukai. Memakai baju yang berbeda dan warna yang berbeda? Sama saja. Orang-orang akan mengenali kami dengan benar setelah mereka mengingat-ingat baju dan warna apa yang kami pakai. Tapi toh terkadang mereka akan lupa kembali.

Tadi malam sebelum tidur, aku dan Corry membuat kesepakatan. Mungkin ini juga doa kami. Kami berdualah yang mengetahui satu-satunya perbedaan yang kami miliki. Tapi kami menyimpannya dan membiarkan siapapun yang akan menjadi pasangan hidup kami nanti untuk menemukan perbedaan itu. Entah siapa dari antara kami berdua yang lebih dulu menemukan pasangan.
"Corry, tolong jaga tasku disini," aku beranjak dari bangku.

Suasana siang hari di kampus tidak begitu ramai hari ini. Ya, karena minggu ini masih merupakan liburan, dan hanya mahasiswa baru dan panitia acara penyambutan mereka lah yang hadir.

"Sepertinya aku meninggalkan sesuatu di toilet," lanjutku.

Dia mengangguk. Kemudian aku meninggalkannya.

Aku mengambil kain pembersih kacamataku yang tadi kupakai tapi tidak sempat kumasukkan kembali ke dalam tasku dan kemudian keluar dari toilet.

"Aaah!!" aku terkejut saat menabrak seorang pemuda di suatu belokan. Tapi pada saat yang sama aku menyadari ia juga berteriak terkejut.

"Bukankah kau baru saja ada di depan sana?" suaranya terdengar seperti sedikit bergetar. "Bagaimana sekarang kau keluar dari toilet?"

Aku tertawa. Dan tertawa lagi. Sampai terpingkal-pingkal. "Kau ini dari bumi atau tidak?" aku sedikit menyindir. "Memangnya kau tidak pernah mengetahui ada orang kembar?"

"Oh," katanya. Dia terlihat lebih tenang.

Aku berusaha menahan tawaku saat kulihat dia ingin memberi penjelasan.

"Aku hanya baru tahu ada orang kembar yang mau memakai pakaian yang sama di satu hari," ia menjelaskan. "Kalian begitu sama."

Aku mengedikkan bahu. "Itulah kami," aku merespon. "Maaf, aku harus kembali lagi ke saudaraku."

"Tapi sebelumnya bolehkah aku bertanya?" ia menahan langkahku.

Aku mengangguk.

"Apakah dulu kau pernah mengalami sesuatu yang membuatmu mendapatkan itu?" ia menunjuk sebuah bekas luka di pergelangan tangan kananku tanpa menyentuhnya.

"Oh ini," aku melihat ke bekas lukaku yang sebenarnya terlihat samar dan anehnya dia bisa melihatnya, lalu kembali melihat padanya. "Tanganku pernah terjepit di suatu celah batu dan saat aku mengeluarkannya, ada darah disitu. Kata dokter aku terkena infeksi. Saat lukaku sembuh, ada bekas ini. Tapi dengan bantuan medis, bekasnya menjadi hampir tidak terlihat." Kuselesaikan penjelasanku yang cukup panjang.

"Aku mengalami hal yang sama," katanya. "Aku berharap bisa menghilangkannya, tapi tidak mau hilang."

"Tapi aku punya satu pertanyaan untukmu,"

"Silakan," katanya.

"Bagaimana kau bisa melihat ini?" tanya sambil menunjuk bekas lukaku. "Kau hebat. Tak seorang pun mengetahuinya."

"Karena bentuknya sama," jawabnya, "hanya saja letaknya berbeda." Ia menyingkapkan lengan baju panjangnya dan memperlihatkan bekas luka yang sama persis di pergelangan tangan kirinya.

"Tapi tetap saja itu hebat," kataku lagi. "Pengelihatanmu benar-benar tajam."

Nada dering ponselku terdengar. "Maaf," kataku lalu mengambil ponselku dari dalam saku celana jeans-ku. Terlihat nama Corry disana dan aku memutuskan panggilannya. "Umm, aku harus pergi sekarang. Sampai bertemu. Kalau kita bertemu lagi." Aku tertawa kecil.

"Mungkin kita akan bertemu lagi jadi sampai bertemu juga," katanya.

Aku berjalan meninggalkannya menuju ke tempat Corry di lobi.

"Lama sekali!" ia mengeluh. "Darimana saja kau?"

"Kau lihat seorang pemuda yang lewat di depanmu baru-baru ini?" aku tidak menjawab pertanyaannya.

Dia mengangguk. "Ada apa dengannya?" ia balik bertanya.

"Dia melihat bekas lukaku!" aku berseru riang.

"Benarkah?" nada kesalnya sekarang berubah menjadi ceria. "Akhirnya seseorang mengetahuinya."

Aku mengangguk. "Kau ingat percakapan kita tadi malam?" aku duduk di sebelahnya. "Jangan-jangan inilah jawaban dari doa kita. Mungkin bisa jadi dia adalah pasangan hidupku!"

Corry tersenyum. "Aku ikut senang untukmu," katanya tapi wajahnya tidak terlihat seperrti itu.

"Jangan seperti itu," kataku. Aku merasakan kekecewaannya. Kalau aku di posisinya aku pasati juga akan merasa kecewa kalau aku didahului juga. "Kau tahu, mungkin juga belum tentu dia orangnya."

Ia menggeleng. "Dia memang untukmu," ia menaikkan dagunya sedikit setelah menunduk sejenak.

"Kau tahu, aku bersedia menggantikan posisimu," kataku sambil menghapus air matanya yang hampir jatuh membasahi pipinya.

Ia pun memelukku.

Ya, aku selalu tidak suka melihat saudaraku merasa sedih dan kecewa. Apapun akan kulakukan demi mengembalikan senyumannya. Bahkan dalam kasus seperti ini. walau sebenarnya aku tidak boleh. Karena siapa yang tahu kalau memang dialah pasangan hidupku? Entahlah Tuhan, kataku dalam hati.

Aku memang sudah merasakannya. Aku tahu aku akan bertemu dengannya lagi. Pemuda itu . Ya, dia yang kutabrak di dekat toilet. Kami bertemu di sebuah kafe dekat kampus saat aku dan Corry ingin makan siang disana. Kami saling berkenalan.

Namanya Thomas. Dia bekerja di bank yang ada di depan kampus kami. Dia bercerita bahwa ia sedang menjemput adiknya yang baru saja menjadi mahasiswa disana ketika ia bertabrakan denganku.

Dia adalah orang yang menyenangkan. Ramah dan juga terlihat menawan. Itulah yang membuat kami semakin sering bertemu. Hanya saja aku tidak pernah pergi berdua saja dengannya. Pasti aku akan bersama Corry.

Suatu kali di hari libur, kami berencana untuk pergi ke pantai bersama dalam jangka waktu sehari saja. Setelah dua minggu penuh aku dan Corry menyelesaikan ujian akhir semester dan Thomas dengan pekerjaannya yang menumpuk, kami butuh suatu hiburan.

"Carry, ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu," Thomas sedikit berbisik saat Corry pergi meninggalkan kami berdua untuk pergi membeli minuman untuk kami.

"Kenapa kau berbisik?" tanyaku.

"Agar Corry tidak mendengar perkataanku," sahutnya. "Ini perkataan yang serius."

Aku bertanya-tanya dalam hati apa yang ingin dia katakan. Dia berkata 'serius'? Apa jangan-jangan..

"Aku ingin mengungkapkan sesuatu padamu," katanya. "Ini pengakuan dari hatiku yang terdalam."

dia ingin mengatakan bahwa dia..

No comments:

Post a Comment