"Oh, saudaraku," Corry pun memelukku dan tertawa kecil. Aku pun ikut tertawa jadinya.
Keesokan harinya saat aku menyiapkan sarapan dengan roti isi yang sederhana, Corry datang dari arah luar rumah setelah selesai berolahraga dan duduk di meja makan. Ia mengambil salah satu roti itu dan melahapnya.
"Kau sih tidak ikut olahraga," katanya dengan mulutnya penuh terisi kunyahan roti.
"Iya, aku kesiangan," sahutku. "Semalaman aku menelusuri Google Maps tentang tempat ini. Aku terlalu senang dengan fasilitas yang Google berikan sehingga aku bisa melihat banyak tempat secara detail."
"Kau melewatkan sesuatu," katanya.
"Oh ya? Apa memangnya?" tanyaku.
"Aku bertemu dengan Chris tadi," jawabnya. Ia meneguk susu putih sampai setengah gelas dan menata nafasnya. "Dan kami berbicara lama sekali. Oh ya, dia punya anjing yang besar sekali dan keren. Aku suka dia."
Aku mengerutkan dahiku. "Bagaimana dengan Thomas nanti?" aku mengingatkannya. "Jadilah pasangan yang setia."
Ia hampir tersedak. "Bukan," katanya. "Dia yang kumaksud itu anjingnya, bukan Chris."
"Oh," aku tertawa karena kesalahanku sendiri. "Ya, karena perkataanmu ambigu sekali. Aku jadi teringat akan pelajaran Linguistik kita dulu."
Ding dong!
"Siapa yang datang ke rumah kita pagi-pagi begini?" aku menoleh ke arah pintu depan rumah. "Corry, tolong bukakan pintunya sementara aku bereskan dulu alat-alat di dapur ini dulu, oke?"
"Tentu," katanya lalu beranjak dan pergi ke luar dari ruang makan menuju uang tamu.
"Carry, kurasa kau tidak akan melewatkan yang ini," Corry kembali lagi dalam waktu yang singkat.
"Kenapa kau kem--"
Ding dong!
"Kau belum membukakan pintu untuk tamunya?" kataku sambil mengelap telapak tanganku pada sehelai tisue.
"Kau saja yang buka sana," dia mendesakku.
"Ada apa sih memangnya?" tanyaku penasaran. "Apa ada seseorang yang menyeramkan di luar sana?"
"Bukakan saja pintunya," ia mendorongku.
"Baiklah, baiklah," dengan terpaksa aku berjalan meninggalkan ruang makan dan menuju ke ruang tamu.
Kubuka pintu dan berkata, "Maaf, kau harus menunggu lama," tanpa melihat siapa yang datang.
"Halo Carry," sapa Chris. Ya, Chris datang berkunjung kemari. Ke tempat, yang aku baca di sebuah artikel tadi malam, tidak seorang pun ingin mengunjungi karena rumor adanya hantu. Pantas saja aku mendapatkan harga yang sangat murah untuk rumah sebagus ini.
"Oh, kau datang juga kemari," kataku. "Masuklah." Kubuka pontu lebih lebar dan bergeser sedikit untuk memberinya ruang berjalan masuk.
Chris pun duduk di sofa yang berbelakangan dengan jendela.
"Kata Corry kalian bertemu saat berolahraga ya?" aku duduk di sofa berseberangan dengannya.
"Ya," katanya. "Kenapa kau tidak ada disana?"
"Aku kesiangan. Biasanya aku bangun pagi," aku sedikit membela diri. "Semalaman aku menelusuri tempat ini lewat Google Map."
"Oh, begitu," dia mengangguk-angguk. "Sebenarnya kau bisa minta bantuanku. Aku bisa mengajakmu berkeliling tempat ini agar kau bisa mengenalnya dengan baik. Kau tidak perlu sungkan."
Aku tersenyum. "Kau baik sekali. Terima kasih," sahutku.
"Aku bawakan minuman segar untuk menemani pagi yang cukup dingin ini," Corry membawa tiga gelas jus buah apel di atas sebuah nampan. Ia meletakkan ketiganya di atas meja dan duduk di sebelahku.
Tiba-tiba Chris tersenyum sendiri.
"Ada apa?" tanyaku.
"Kalian ini benar-benar mirip, tapi berbeda," katanya.
"Ah, karena kami memakai baju yang berbeda saja sekarang," sahut Corry. Ia tidak yakin akan perkataan Chris sama sepertiku.
"Ah, kau meremehkanku," katanya.
"Bukan begitu, Chris," sahutku agar tidak terjadi kesalahpahaman. "Tidak ada seorangpun yang bisa membedakan kami berdua semudah itu. Orang-orang akan bisa membedakan kami saat kami memakai pakaian yang berbeda."
"Aku tahu apa yang membedakan kalian," Chris terlihat sangat yakin.
"Begitukah?" Corry menggodanya.
Kami banyak bercanda di sepanjang hari itu. Chris cukup lama berada di rumah kami. Sampai hampir pukul tiga sore ia pulang ke rumahnya.
Chris berjanji akan mengajakku berjalan-jalan di sekitar daerah Mountain View dan sekitarnya. Karena itulah pagi ini dia menjemput kami berdua dengan mobil sedan Ford-nya untuk berkeliling.
Di sepanjang perjalanan ia menceritakan bahwa Mountain View adalah rumah bagi perusahaan teknologi canggih. Selain Google, disini ada Mozilla, Symantec dan LinkedIn. Memang keren sekali tempat ini. Sang harinya ia mengajak kami makan siang di pusat kota di restoran L&L Hawaiian Barbeque.
Aku sangat menikmati perjalanan berkeliling Mountain View. Chris adalah pemandu wisata yang baik. Dan juga seorang pengendara mobil yang baik. Hal ini adalah sesuatu yang sangat kuperhatikan, karena aku tidak terlalu suka dengan kecepatan yang tinggi.
Selama empat hari ini aku dan Corry tidak pernah merasa bosan karena kehadiran Chris. Dia benar-benar menyenangkan. Tapi sayangnya, ini hari terakhir Corry berada disini. Rasanya aku menjadi sedih.
"Ini bantal kesayanganku," Corry menyodorkan sebuah bantal berwarna hijau muda yang berbentuk daun padaku. "Supaya kau tidak kesepian saat merindukanku."
Aku tertawa. "Aku tidak akan menangis," aku mengungkapkan hal yang sebaliknya dari perasaanku. "Kau saja ambil bantalku ini supaya tidak menangis." Kuberikan bantal panda milikku.
"Besok aku sudah harus pergi," katanya, "kau harus jaga dirimu baik-baik. Jangan bekerja terlalu keras, kau harus ingat untuk beristirahat. Oke?"
Aku mengangguk. "Walaupun kau tidak akan ada lagi bersamaku untuk mengingatkanku, aku akan mengingatnya," sahutku. "Mungkin aku akan membuat alarm dengan rekaman suaramu yang kau buat waktu itu." Aku teringat tanpa sepengetahuanku Corry membuat sebuah rekaman dan menjadikannya sebagai alarm dan menghentikanku belajar untuk sebuah kompetisi di waktu liburan.
Dia tersenyum. "Ayo tidur. Aku tidak mau ketinggalan pesawat," Corry mengalihkan pembicaraan saat air matanya mulai terbendung. Ia berbaring di ranjangnya dan menyelimuti tubuhnya. Aku hanya tersenyum lalu beranjak ke ranjangku dan tidur.
Pagi ini Chris datang ke rumah. Semalam aku mengirim pesan padanya dan meminta bantuan. Untung saja dia belum tidur.
Ia memasukkan koper kecil Corry ke dalam bagasi dan kami segera melesat menuju bandara. Pesawat lepas landas pukul sembilan. Dan dengan bantuan Chris, kami sampai disana satu jam sebelumnya.
Setelah mengurus beberapa administrasi kami berhenti di batas dimana bukan penumpang harus berhenti.
"Lakukan apa yang kuminta padamu tadi malam," kata Corry sebelum ia masuk ke ruang tunggu khusus penumpang.
Aku mengangguk. "Kau juga baik-baik di rumah. Aku titip Papa dan Mama padamu," balasku. Lalu aku memeluknya. "Sudah, masuklah sana."
"Tunggu," kata Chris.
"Ada apa?" tanyaku dan Corry bersamaan sehingga suara kami seperti sedikit menggema.
"Sebelum kau pergi, aku ingin mengungkapkan sesuatu," kata Chris.
No comments:
Post a Comment