ASK ME.

If you want the copy of my stories, just ask me through my Facebook. God bless you.

Thursday, July 4, 2013

Every Twin Has A Special Soulmate! (Chapter 2)

"Setelah selama ini bersama, aku menyadari bahwa,"

menyukai..

"aku menyukai,"

menyukai..

"Corry,"

kembaranku dan bukan aku!

Thomas tersenyum ragu sambil menunggu respon dariku.

Kecewa, yah aku merasakannya. Apakah seharusnya aku tidak berkata bahwa aku mau menggantikan posisi Corry? Thomas menyukai Corry dan bukan aku.

"Carry?"

Tapi di sisi lain, rasa senang dan bahagian juga kurasakan. Dan semakin lama rasa itu menjadi semakin besar dibandingkan kekecewaanku.

"Aku senang sekali mendengarnya,"

"Apa kau bisa memberitahuku hal yang disukainya?" dia bertanya lebih lanjut. Kurasa setelah ini dia akan menembak Corry.
Dengan pikiran yang tidak fokus aku menjawabnya. Ya, aku menjawabnya dengan mudah karena apa yang Corry sukai sama seperti yang aku sukai.
Tentu saja. Beberapa hari kemudian, ia mendatangi Corry, kali ini hanya berdua saja, dan saat ia pulang ke rumah kabar yang sudah kuduga akan terjadi kuterima dari mulutnya. Ia bercerita dengan sangat menggebu-gebu. Dan aku senang sekali saat mendengarnya.

Kesendirian yang dulu tidak pernah aku alami sekarang terjadi. Corry sudah bersama Thomas. Ia menjadi jauh lebih sering menikmati kebersamaan dengan kekasihnya. Aku saudara kembarnya, sekarang lebih sering sendirian, kecuali saat kami mempunyai kelas yang sama di kampus.

Aku tentu saja merasa baik-baik saja. Setidaknya aku mencoba. Walaupun terkadang aku tidak bisa menertawai foto-foto yang lucu di Facebook dan Tumblr dan membagikannya pada saudaraku. Malang sekali rasanya. Tapi segala sesuatunya harus tetap berjalan dengan baik. Aku tidak boleh lemah dan menyerah.

Hari ini adalah hari kelulusan. Kali ini dandananku sedikit berbeda dengan Corry, karena Thomas memberitahunya untuk memakai pakaian yang lebih cerah daripada gelap seperti yang biasa kami berdua pakai. Ya, tentu saja. Mereka sedang jatuh cinta. Hal seperti itu wajar.

"Carry Jonathans, dinobatkan sebagai mahasiswa terbaik di tahun 2013! Selamat," rektor kampusku mendeklarasikannya dari atas panggung.

Aku pun berjalan menuju ke panggung dan menerima simbol beasiswa dan juga penghargaan berbentuk sertifikat. Rasanya aku bangga sekali.

"Dengan prestasinya ini, seperti kesepakatan yang telah universitas ini buat dengan salah satu perusahaan ternama di dunia," bapak rektor melanjutkan, "Carry Jonathans disahkan sebagai salah satu staff perusahaan Google!"

Aku tersenyum bangga. Dari kejauhan juga kulihat papa, mama, Carry dan juga Thomas bersorak untukku. Rasanya seperti mimpi. Impianku benar-benar berhasil.

Seminggu penuh Corry menemaniku di California untuk beradaptasi. Ya, disinilah aku akan bekerja. Aku berharap segala sesuatunya berjalan dengan baik disini.

"Carry, aku benar-benar akan merindukanmu," Corry meletakkan kepalanya di bahuku saat kami sedang beristirahat di sebuah rumah yang kami sewa di Sierra Vista, Mountainview dengan murah untuk sementara waktu.

"Aku juga," kataku. "Tapi masih ada waktu seminggu. Kalau begitu kita harus menghabiskan waktu terakhir kita bersama dengan bersenang-senang. Oke?"

Dia mengangguk.

Kami berdua pun berjalan-jalan di sepanjang jalan di dekat rumah itu dan berhenti di sebuah taman untuk membeli es krim yang dijual di sebuah toko kelontong kecil.

"Kau tidak bisa memakannya seperti itu," kata seseorang yang juga sedang membeli es krim dan berdiri di sampingku. "Buka penutupnya dan kau bisa letakkan sendoknya melalui lubang yang ada di situ supaya tanganmu tidak kotor."

Aku menoleh. Seorang pemuda berbaju casual bersama dengan seorang gadis kecil yang memegangi celananya.

"Aku mau itu," seru gadis itu.

"Yang ini?" pemuda itu menunjuk ke salah satu dari lima varian rasa.

"Bukan, bukan," ia menolak.

"Kau pasti mau yang ini kan?" aku menunjuk ke sebuah es krim rasa stroberi dengan topping remahan kue Oreo.

Gadis itu mengangguk.

"Pesan yang ini satu ya," kataku pada penjual es krim itu.

"Kau belum lama disini ya?" pemuda itu menanyakan hal yang di luar dugaanku.

"Bagaimana kau tahu itu?" aku bertanya balik.

"Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku dulu?" ia melemparkan pertanyaan lagi.

"Aku kan hanya ingin tahu saja," kataku. "Aku memang orang yang suka ingin tahu. Tapi hanya sebatas hal yang boleh diketahui saja. Aku bukan orang yang mencampuri urusan orang lain."

"Ya," katanya, "tapi kau masih belum menjawab pertanyaanku."

"Oh," aku menyeringai. "Ya, aku baru saja sampai kemarin. Aku akan mulai bekerja di dekat sini minggu depan."

"Dekat sini?"

Aku mengangguk. "Kenapa?"

"Permisi, ini es krimnya," tukang es krim itu menyela.

"Terima kasih," kata pemuda itu lalu memberikan es krim itu pada gadis kecil itu.

"Oh ya, ini uangnya," ia memberikan dua dolar pada tukang es itu. "Sekalian es krim yang nona ini beli." Ia menunjukku dengan gerakan kepalanya.

"Terima kasih," sebuah frasa yang otomatis saja keluar kapanpun dimanapun dan siapapun orang berbuat baik padaku.

"Kembaliannya," beberapa peser koin disodorkan pada pemuda itu, lalu diambilnya.

"Kau makan dua es krim?" tanyanya dan melupakan pertanyaan sebelumnya sambil menggandeng gadis kecil yang sedang menjilati es krimnya sampai belepotan. Kami berjalan ke arah yang sama.

"Anakmu butuh tisue," aku mengambil sehelai tisue dari jantung tasku dan memberikan pada pemuda itu.

Ia berjongkok dan mengelap es krim yang ada di pipi gadis itu. "Memangnya aku terlihat setua itu? " tanyanya sambil menoleh padaku lalu kembali pada gadis itu dan selesai membersihkan pipi dan mulutnya.

"Aku salah ya?" aku menyeringai.

Ia berdiri kembali lalu kami lanjut berjalan. "Ya," sahutnya. "Dia anak tetanggaku. Aku diminta untuk menjaganya seharian ini."

"Kupikir itu akan menyenangkan," aku merespon.

"Ya tapi hei, kau belum menjawab pertanyaanku," ia mengingatkan.

"Oh, tentang es krim? Ya," aku juga baru saja teringat. "Ini untuk saudaraku. Dia akan menemaniku selama seminggu disini dan kami akan berpisah untuk waktu yang sangat lama."

Pemuda itu tersenyum. "Aku bisa merasakannya," katanya. "Kau kembar?" Itulah yang dikatakannya saat kami mendekati Corry.

Corry tersenyum dengan kerutan dahi dan mata sedikit terbelalak saat melihatku bersama dengan dua orang tak dikenal.

"Corry, aku baru saja bertemu dengan dia dan dia membelikan es krim untuk kita," kataku. "Dia -- siapa namamu? Aku baru ingat belum berkenalan tadi." Aku tertawa kecil.

"Christopher Orlando, panggil saja Chris," ia menjabat tangan Corry.

"Aku Corry Jonathans,"

"Kau pasti Carry," dia ganti menjabat tanganku dan aku tersenyum.

"Tepat," kataku.

"Christopher, aku mau bermain disana," gadis kecil yang sudah menghabiskan es krimnya itu menunjuk pada sebuah wahana bermain yang dulu pun sangat aku sukai. Komedi putar.

"Tunggu sebentar ya," sahut Chris. "Carry, kau tinggal dimana?"

"Kau tahu rumah tua yang ada di ujung jalan ini?"

Dia mengangguk.

"Aku tinggal disana," jawabku.

"Baiklah, sampai bertemu," katanya sambil ditarik oleh gadis yang tidak sabar untuk bermain itu.

"Sampai bertemu," aku membalasnya dan dia pergi.

Corry tiba-tiba saja tertawa setelah itu.

"Hei, kenapa tertawa?" tanyaku. "Memang barusan ada yang lucu? Kenapa aku tidak melihatnya?"

Dia menggeleng. "Kau selalu saja bertemu dengan orang-orang baru dan mengenal mereka dengan cepat," katanya. "Bahkan di tempat baru seperti ini sekalipun."

Aku mengangkat bahuku. "Entahlah," kataku.

"Mungkin hal inilah yang bisa menjadi salah satu hal dari dua hal yang berbeda dari kita, yang baru kita ketahui juga," tambahnya.

"Bisa jadi," kataku.

"Jangan-jangan, dia adalah pasangan hidupmu," ia menggodaku.

Aku menggeleng lalu duduk di sampingnya. (Aku baru teringat bahwa selama ini aku terus berdiri. Dan anehnya, dia tidak mengingatkanku untuk duduk juga.) "Aku tidak mau kecewa," sahutku.

"Oh, Carry," nada suara Corry menjadi memelas.

Aku tersenyum padanya. "Kau tidak perlu kuatir," aku meyakinkannya karena dia terlihat sangat mencemaskanku. "Aku hanya akan berdiam diri dulu dari segala harapan mengenai seorang pria yang akan menjadi pasangan hidupku."

"Kau berjanji kau akan menjaga diri?" tanyanya.

"Pasti dan selalu," jawabku.

No comments:

Post a Comment